Kamis, 18 Mei 2023

Mengenal Marhaenisme, Ajaran Soekarno yang Sangat Menentang Imperialisme dan Kolonialisme.

 APA ITU MARHAENISME ?

Ajaran Bung Karno yang kita kenal dengan istilah Marhaenisme adalah suatu asas perjuangan untuk melawan segala bentuk penindasan Kolonialisme, Kapitalisme, dan Imperialisme. Suatu ajaran yang terkontaminasi dengan ajaran-ajaran Marxisme dan kondisi Indonesia pada waktu. Hal itu disampaikan oleh Bung Karno “kalau ingin memahami Marhaenisme, Anda harus mengetahui ajaran-ajaran Karl Max dan kondisi Indonesia.”

Awalnya, istilah Marhaenisme diilhami oleh Bung Karno ketika sedang jalan-jalan di pinggiran kota Bandung, saat statusnya masih mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng sekarang ITB. Hal itu dijelaskan dalam buku “Biografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams. Bung Karno pada waktu menjumpai seorang petani sedang menggarap tanah yang luasnya tidak cukup untuk makan bersama dengan keluarga.

Hingga akhirnya Bung Karno melakukan wawancara dengan petani tersebut. Dengan itulah, Bung Karno dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa petani tersebut telah ditindas oleh sistem yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda waktu itu. Padahal, faktanya petani tersebut menggarap tanah sendiri, memiliki gubuk (tempat tinggal) sendiri, cangkul (alat produksi) sendiri, tetapi hasil yang ia dapatkan tidak cukup untuk makan bersama sanak dan keluargannya.

Akhir dari wawancara itu Bung Karno menyempatkan untuk menanyakan nama si petani. Ternyata nama si petani itu yakni Marhaen. Ya, Marhaen adalah rakyat kecil. Marhaen tinggal di bumi ibu pertiwi sendiri, punya modal sendiri, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa karena ada sistem yang menindas yang tidak ada keberpihakan kepada rakyat kecil.

Kemudian Bung Karno mengatakan, Marhaen dapat dijadikan sebagai simbol untuk rakyat kecil yang ditindas oleh sistem. Entah itu petani, pedagang, tukang becak, dan kaum buruh. Mereka semuanya adalah kaum Marhaen. Mereka semua telah ditindas oleh sistem penindasan dan mereka juga memiliki nasib yang sama.

Jadi, meskipun nama Marhaen diambil dari kisah seorang petani, tetapi itu hanyalah sebagai simbol untuk orang-orang yang perlu diperjuangkan oleh kaum Marhaenis. Nah, lalu apa perbedaan antara Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme. Mengapa istilah tersebut harus dibedakan dan seperti apa perbedaan sebenarnya?.

Di dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1 tulisan Bung Karno”, beliau telah menyampaikan perbedaan dari istilah-istilah tersebut. Pada Kongres Partindo yang diselenggarakan di Mataram 1933, Bung Karno menyampaikan beberapa butir keputusan yakni:

1. Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi. Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tipa kapitalisme dan imperialisme.

2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

3. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.

4. Sedangkan, kaum Marhaeni adalah mereka kaum wanita sebagai rakyat kecil yang ditindas oleh sistem. Bung Karno mengatakan bahwa Marhaen dan Marheni tidaklah boleh saling bermusuhan, tetapi haruslah bekerjasama.

Lalu, apakah istilah-istilah tersebut masih populer saat ini? Apakah generasi saat ini mengetahui kalau ajaran-ajaran tersebut telah memberikan sumbangsih besar terhadap bangsa Indonesia? Termasuk Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, Bung Karno mengatakan bahwa “Pancasila is Marhaenisme, Marhaenisme is Pancasila.”

Oleh karena itu, pemikiran Bung Karno tentu tidak bisa hilang begitu saja di dalam masyarakat. Ajaran Bung Karno masih menjadi tema pembicaraan hangat di kalangan aktivitas dan akademisi. Seperti organisasi GMNI, salah satu organisasi yang masih setia untuk terus merawat pikiran-pikiran Bung Karno, karena relevansi pemikiran Bung Karno terhadap Indonesia tentu tidak bisa dielakkan lagi.terima kasih 

Sabtu, 13 Mei 2023

hati hati generasi milenial mengunakan media social

Berikut ini adalah screenshot dari film dokumenter The Social Dilemma yang harus dilihat oleh banyak orang.

Film ini memperlihatkan para developer social media yang menjelaskan bagaimana cara kerja/sistem dari social media mempengaruhi penggunanya agar terus menggunakannya. Di sini benar-benar diperlihatkan sisi menyeramkan dari cara kerja dan akibat penggunaan social media.

Hal yang menyebabkan kenapa kita seringkali tidak bisa berhenti/lepas dari penggunaan social media adalah karena di sana kita selalu disuguhkan dengan hal-hal yang kita sukai, begitulah algoritmanya bekerja.

Kita selalu berpikir bahwa kita diuntungkan saat menggunakan social media karena bisa terhubung dengan orang lain, mendapat teman, melihat video yang disuka dll. Padahal sebenarnya kita hanyalah produk. Kita yang membuat sebuah platform menghasilkan uang. Dengan cara apa? Apalagi kalau bukan iklan. Semakin banyak pengguna suatu platform, semakin digemari oleh para pengiklan untuk memasang iklan.


Di bawah ini dijelaskan bahwa kita, generasi Z (bukan millennial) adalah generasi yang paling banyak menggunakan social media bahkan saat masih kecil sekalipun.

Di sini juga sempat dijelaskan tentang pertama kalinya diluncurkan fitur like pada Facebook itu pada awalnya untuk memberikan dunia lebih banyak kasih sayang. Tapi seiring berjalannya waktu, dengan adanya fitur tersebut, juga fitur love pada Instagram bisa menimbulkan gangguan mental pada penggunanya terutama pada remaja (contohnya insecure dan depresi karena dibully karena dengan alasan fisik). Hal ini tidak bisa diremehkan, karena sudah banyak kasus dimana kerapuhan remaja saat ini bisa membawa mereka pada kematian.


Di bawah ini adalah alasan kenapa saya pernah berkata bahwa over-information adalah hal yang tidak baik, karena apa? Ini adalah jaman yang sangat-sangat gampang mencari informasi. Informasi bertebaran di 

mana-mana, juga berita hoax. Bahkan sampai kita tidak bisa membedakan manakah yang benar di antara banyaknya informasi tersebut (kecuali jika kita sudah bisa menerapkan critical thinking saat dihadapkan dengan berita/informasi yang bertebaran itu).    

Hal inilah yang memicu terjadinya perpecahan.

Bahkan para developer dari beberapa social media pun tidak memperbolehkan anak-anaknya untuk terjun ke dalam dunia maya.


Hanya ada dua industri yang menyebut pelanggannya 'pengguna' yaitu narkoba dan perangkat lunak.” — Edward Tufte.


Terakhir, pesan yang paling penting.

Catatan:

Melalui jawaban ini, yang memang saya ingin bagikan, saya hanya bisa berharap siapapun kalian para pembaca bisa mengambil pelajaran dari jawaban ini. Saya tidak ada niatan sama sekali untuk memprovokasi kalian untuk meng-uninstall aplikasi-aplikasi sosmed. Terlepas dari hal-hal di atas, kita juga pasti tahu apa manfaat dari sosial media.

Mengenai rekomendasi video di youtube, pendapat saya adalah boleh-boleh saja membukanya jika videonya hanya sekedar musik/seni, asalkan kalian tahu kontrol diri. Kecuali jika video rekomendasi yang dimaksud berbau-bau propaganda, hoax, atau hal lain yang bisa mempengaruhi kalian terkait berita yang belum tentu benar, saya sangat menyarankan untuk tidak membuka rekomendasi video tersebut. Kalau bisa matikan notifikasinya.

Jika ingin tahu lebih detail, silahkan tonton filmnya #nama flim the social# dilemma. Dan, koreksi saya jika ada kesalahan kata :)

sumber: flim the social dilemma

penulis  :   wene lurik

CSheers🌼

klik link sebagi berikut youtube, reviuw video https://youtube.com/@OkkyBarus

Jumat, 12 Mei 2023

SERIBUH KEBAIKAN,MELUPAKAN SATU KEBURUKAN?

kenapa saya bisa memilih judul perikp tersebut?  karena saya melihat situasi dan kondisi perkembagan dalam  dinamika sosial dan kemasyarakat.
 tentunya manusia adalah makluk sosial 

Rabu, 10 Mei 2023

Tinjauan Sosiologis Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme

       Wahyu Budi Nugroho

Sosiolog Universitas Udayana
Direktur Sanglah Institute

 Disampaikan dalam Webinar Nasional: “Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme” pada tanggal 31 Oktober 2020. Diselenggarakan oleh MARAPI, aihi, Prodi HI UNUD, dan KOMAHI UNUD.

 

Republik ini telah melalui sejarah panjang ketegangan antara sipil dengan militer, dimulai dari Orde Lama hingga Orde Baru. Peristiwa Reformasi 1998 memberikan kita momen untuk mulai mengikis ketegangan ini, dan di era pemerintahan Gus Dur, terdapat berbagai capaian signifikan untuk meredakan ketegangan ini—pencabutan Dwi Fungsi ABRI, larangan tentara menjabat dalam birokrasi sipil, serta TNI yang sekadar ditugaskan untuk pertahanan serangan dari luar negeri.

 Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tanpa batasan yang jelas di dalam negeri, dikhawatirkan akan mengurangi fungsi pertahanan TNI, dan membuatnya kembali ke ranah sipil.

 Di tahun 1990-an, muncul buku yang sangat terkenal dari Profesor Ilmu Politik Amerika Serikat Samuel P. Huntington, berjudul The Clash of Civilizations atau Benturan antar-Peradaban. Buku ini sebetulnya dimunculkan untuk menjawab buku Francis Fukuyama yang berjudul The End of History and The Last Man, yang di dalamnya berisi klaim atas kemenangan ideologi demokrasi liberal di atas ideologi-ideologi lainnya.

 Melalui karya Huntington, seolah pendekatan militer atau war model (model perang) dalam mengatasi terorisme memperoleh legitimasinya. Namun kemudian, karya ini menuai kritik di sana-sini, salah satu yang paling mengemuka adalah, benturan antar-Peradaban yang terjadi sifatnya lokal dan spesifik, tidak terjadi secara makro dan mewujud dalam skala sistem sosial yang luas. Dengan demikian, pendekatan militer tidak sesuai digunakan untuk mengatasi terorisme.

 Jika kita menilik ke belakang di tanah air, di era Orde Lama dan Orde Baru, pendekatan militer memang lebih diutamakan, tetapi ini dikarenakan beberapa alasan. Pertama, di era Orde Lama dan Orde Baru isu HAM belum menjadi prioritas. Kedua, di era Orde Lama terutama, aksi terorisme yang terjadi mewujud dalam gerakan pemberontakan yang sifatnya masif yang hanya bisa diatasi oleh tentara karena kepolisian belum mampu mengatasinya—misalnya pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.

 Dalam masyarakat demokratis, atau sedang dalam mengalami proses demokratisasi, yang juga sudah memiliki kepolisian yang kuat; seyogiyanya pendekatan yang digunakan untuk melawan terorisme adalah criminal justice model. Artinya di Indonesia saat ini, terorisme (perlu) ditempatkan sebagai persoalan penegakan hukum yang ditangani kepolisian, bukan persoalan pemberontakan yang ditangani TNI.

 

Bagaimanapun juga, terdapat doktrin yang berbeda antara kepolisian dengan TNI, kepolisian dengan doktrin keamanan, sedangkan TNI dengan doktrin pertahanan. Perbedaaan doktrin ini tentu menyebabkan perbedaan pula di ranah praksis atau tindakan. Polisi dengan doktrin keamanan cenderung berorientasi untuk melumpuhkan, sedangkan TNI dengan doktrin pertahanan cenderung berorientasi untuk “membunuh” dan “menghancurkan”.

 

Doktrin pertahanan inilah yang dikhawatirkan banyak pihak dapat menimbulkan persoalan HAM, karena kemudian seolah pelaku teror bukan untuk diadili dan dihukum, tetapi untuk ditembak mati di tempat.

 

Terdapat beberapa catatan mengapa kita tetap harus mengedepankan kepolisian dalam pemberantasan terorisme.

 

Pertama, setelah revisi UU Terorisme (2018) polisi sudah bisa bertindak sebelum kejadian (teror)—sebelumnya baru bisa bertindak setelah ada kejadian. Itulah mengapa, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi penangkapan anggota berbagai jaringan teroris di tanah air. Ini artinya, kita sudah menerapkan offensive counterterrorist operations, bukan lagi sekadar defensive security.

 

Kedua, setelah dibentuknya DENSUS 88 angka teror di tanah air cenderung menurun.

 

Ketiga, terdapat penelitian menarik dari Seth G. Jones dan Martin C. Libicki di tahun 2008. Mereka meneliti 648 kelompok teroris dalam rentang waktu tahun 1968 hingga 2006. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa efektivitas penggunaan militer untuk menanggulangi terorisme hanyalah 7%, sementara polisi 40%, sisanya lewat lembaga sosial-politik. Menurut mereka, militer baru efektif dilibatkan ketika kelompok teroris merupakan kelompok pemberontak dalam jumlah besar—sama seperti DI/TII di era Soekarno dulu.

 

Keempat, dengan doktrin SISHANKAMRATA, berbagai elemen masyarakat juga akan turut membantu dalam mengatasi persoalan terorisme. NU misalkan, yang lewat BANSER membentuk Densus 99.

 

Dari sini, menjadi penting pula memandang (persoalan) terorisme dalam bingkai sosial-kultural suatu masyarakat. Munculnya organisasi teroris Taliban, al-Qaeda, atau ISIS adalah kasus-kasus unik yang tidak terlepas dari kondisi sosial-kultural masyarakat Timur Tengah.

 

Sementara di Indonesia, praktik-praktik keagamaan yang ada, sudah sejak dahulu terakulturasi dengan budaya lokal yang santun, lembut, dan toleran sehingga umat beragama di tanah air lebih berorientasi pada konsensus ketimbang dominasi atau perebutan kekuasaan.

 

Terkhusus umat Islam tanah air misalkan, Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, kiranya dapat merepresentasi masyarakat muslim tanah air; dan baik keduanya sama sekali tidak memiliki ideologi teror atau ide untuk mendirikan khilafah (negara Islam). Maka, dalam kondisi damai (seperti ini) di tanah air, seyogiyanya pendekatan hukum dalam melawan terorisme lebih dikedepankan—paham teror tak ubahnya subkultur yang hadir di tanah air sebagai ekses globalisasi.

 

Melalui serangkaian uraian singkat ini, kiranya rekomendasi dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terhadap Rancangan Peraturan Presiden mengenai pelibatan TNI dalam kontra-Terorisme menjadi sangat relevan.

 

Pertama, pelibatan TNI harus berdasarkan keputusan politik negara, yaitu melalui keputusan presiden dan pertimbangan DPR.

 

Kedua, pelibatan TNI dalam kontra-Terorisme adalah pilihan terakhir, ketika kepolisian mengalami keterbatasan dalam mengatasinya.

 

 

Faktual, selama ini TNI (juga) sudah turut dilibatkan saat kepolisian mengalami keterbatasan, semisal operasi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Poso, dan Papua—Kopassus dilibatkan dalam operasi Brimob.

 

...atau dapat pula, dikarenakan kepolisian memiliki keterbatasan dalam medan operasi seperti hutan, laut, dan udara; maka TNI lebih banyak berperan di medan-medan semacam itu—karena memang lebih memiliki kapasitas. Sementara, polisi lebih banyak berperan di wilayah urban dan suburban yang padat penduduk.

 

Tetapi perlu dicatat sekali lagi, menjadi tidak bijak bagi kita mengubah pendekatan ‘criminal justice model’ dengan ‘war model’ hanya dikarenakan keberhasilan satu atau dua operasi militer dalam memberantas terorisme. Terlebih, menurut penelitian Kane dan Londsdale di tahun 2012, sangat jarang bagi pelaku teroris memiliki kemampuan sumberdaya dan organisatoris untuk menciptakan serangan-serangan serupa di masa mendatang.

 

 

Ketiga, pelibatan TNI hanya bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu, karena tugas utama TNI adalah untuk menghadapi perang.

 

Keempat, pelibatan TNI harus tunduk pada norma hukum dan HAM.

 

Kelima, anggaran TNI untuk kontra-Terorisme berasal dari APBN agar tidak membebani keuangan daerah.

 

Akhir kata, tidak ada keamanan tanpa HAM, dan tidak ada HAM tanpa ditegakkannya keamanan.